rss
twitter
    Aku Adalah Kau dan Kau Adalah Aku !!

Menyelaraskan Pendidikan Agama, Iptek, dan Kemandirian



"Bukannya tidak senang partai, tidak. Konsentrasi saya adalah memberi bekal kepada santri-santri. Kalau saya ke mana-mana, nanti tidak bisa berkonsentrasi lagi kepada mereka."

Sosoknya jauh dari gambaran umum seorang kiai. Memang sesekali terlihat mengenakan sarung, tetapi tidak tampak berpeci. Ia tak segan-segan turun tangan mengusung kursi, seperti ketika Pondok Pesantren Jawaahirul Hikmah, Besuki, Tulungagung, Jawa Timur, yang dikelolanya, menjadi tempat penyelenggaraan Perkemahan Ilmiah Remaja Nasional (PIRN) VII, 20 - 26 April lalu.

Kesan itu yang terekam ketika mengamati sosok Haji Muhammad Zaki (58). Pada Minggu, 20 April, hingga larut malam Pak Kiai, begitu ia dipanggil, masih memeriksa persiapan terakhir.

Kiai Zaki ibarat ayah bagi sekitar 400 santri yang tinggal menetap di pondok pesantren itu, juga bagi sekitar 3.000 santri yang tinggal di luar pondok. Sebagian besar dari santri menetap itu siswa-siswi SMP dan SMA Jawaahirul Hikmah.

Sejak didirikan pada 1998, pondok pesantren itu tidak hanya dimaksudkan mendidik santri di bidang ilmu agama. Pertimbangan itu pula yang menjadi dasar pendirian SMP dan SMA di pondok pesantren itu. "Para santri harus mendapatkan bekal ilmu pengetahuan dan teknologi, bukan hanya pengetahuan agama. Menghadapi globalisasi, tanpa bekal ilmu, takutnya nanti mereka lari menjadi TKI (tenaga kerja di luar negeri, Red). Di daerah ini menjadi TKI sering menjadi jalan pintas dalam menghadapi tekanan ekonomi," katanya, dalam perbincangan di sela-sela penyelenggaraan PIRN VII.

Ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) itu pula yang "mempertemukan" Kiai Zaki dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Agus Wiyoto SPd, guru SMP Jawaahirul Hikmah, meraih gelar juara dua dalam Lomba Kreativitas Ilmiah Guru pada September 2006 yang diselenggarakan LIPI. "Kami diundang hadir dalam PIRN VI di Jepara. Dari situ saya tahu ada pembekalan penelitian kepada siswa dan remaja peserta PIRN," katanya.

Ketika PIRN VII gagal diselenggarakan di Sulawesi, ia langsung menawarkan pondok pesantrennya sebagai tempat penyelenggaraan. "Saya melihat generasi muda ini. Ke depan, diperlukan remaja yang siap mengganti generasi yang tua-tua ini. Berkaitan dengan tantangan zaman, kalau tidak ada bekal ilmu yang memadai, kita akan semakin tertinggal jauh, terutama dalam bidang ekonomi," tuturnya. "Siapa tahu ada penemuan-penemuan. Kan penemuan-penemuan itu nantinya membawa manfaat kepada umat. Saya juga bisa menambah wawasan," ia menambahkan.

Perkemahan ilmiah remaja itu juga dianggapnya mampu menumbuhkan rasa kebangsaan. Pesertanya berdatangan dari seluruh Indonesia dari berbagai latar belakang suku dan agama. Dari kegiatan semacam itu ia berharap tertanam rasa persaudaraan juga rasa kebersamaan. "Saya melihat selama ini rasa nasionalisme mulai luntur. Siapa lagi yang bisa menumbuhkan kalau bukan kita," tuturnya.

Sekolah Tanpa Bayar

Kepedulian terhadap perkembangan iptek itu juga diwujudkannya dengan mengembangkan budi daya lobster air tawar di kompleks pesantren. Selain sebagai media belajar, usaha itu untuk menghidupi keberlangsungan pondok pesantren.

Siswa SMP dan SMA di tempat itu, tidak membayar uang sekolah. Mereka hanya membayar uang makan, karena tinggal di asrama.

Kiai mempersyaratkan siswa tinggal di asrama. "Dengan tinggal di asrama, bisa memasukkan nilai-nilai kedisiplinan, kemandirian, juga menyerap ilmu-ilmu yang ada di pondok ini, seperti budi daya lobster itu," katanya.

Bukan hanya menjadi objek penelitian dan meraih gelar juara, yang membanggakan Kiai Zaki, budi daya lobster di tempat itu sudah diakui Departemen Kelautan dan Perikanan dalam bentuk pemberian sertifikasi CBIB, Cara Budidaya Ikan yang Baik.

Selain permintaan bibit meningkat, budi daya lobster di tempat itu juga menjadi tempat belajar banyak kalangan. Kiai Zaki menyebut contoh Korem Madiun dan para kiai di seluruh Indonesia yang difasilitasi sebuah yayasan.

Ia tertawa ketika perbincangan menyentuh cara mengelola pondok pesantren dan sekolah tanpa bayar. "Logika langit dan logika bumi itu lain. Logika di bumi itu, ibarat diberi Rp 10.000, lalu disedekahkan Rp 5.000, akan berkurang Rp 5.000. Tapi kalau logika langit, akan berlipat. Semakin ikhlas saya mengelola pondok, akan ada saja rezeki," katanya.

Dengan rendah hati, ia mengaku Tuhan telah mempercayainya mengelola tambang marmer. "Agak di luar akal saya, karena kemampuan saya tidak sampai sejauh itu. Tapi, karena keikhlasan mengelola pondok ini, saya diberi kepercayaan itu. Prosesnya panjang, tetapi sudah menghasilkan. Walaupun kecil, tapi punya pabrik," tuturnya.

Berbagai pekerjaan dan usaha pernah dilakoni Kiai Zaki sebelum "bermuara" pada usaha tambang marmer. Sejak kecil ia bermimpi mempunyai usaha sendiri. Tetapi usaha apa jika tanpa modal?

Kegemarannya meneliti mengantar langkahnya mencoba membuat usaha dengan bahan sabut kelapa. Keinginan terus berkembang mengantar langkahnya menekuni usaha kecap, dan kemudian sabun. Usaha itu lumayan berkembang hingga menjadi industri skala rumah tangga dengan tujuan pemasaran Surabaya.

Ia mengumpulkan sedikit demi sedikit keuntungannya membeli tanah. Seiring dengan itu, di Surabaya ia juga mencoba-coba usaha memborong bangunan. Ternyata berhasil. Hasil dari usaha menjadi pemborong bangunan itu mendirikan Pondok Pesantren Jawaahirul Hikmah I di daerah Waru.

Hasil usaha di Tulungagung, ia wujudkan dalam pembangunan masjid di Besuki, menyatu dengan aula pondok pesantren. Kini, kompleks Pondok Pesantren Jawaahirul Hikmah di Tulungagung, memenuhi areal seluas 16 hektare. Sebagian areal, dulunya rawa. "Semua berproses hingga tujuh tahun. Bukan sim salabim. Pelan sekali. Yang penting manusia itu harus berani berproses. Tidak boleh putus asa," ia mengisahkan. Ia sangat meyakini, Tuhan selalu memberi rezeki walau ia banyak mengeluarkan uang.

Bukan Milik Dinasti

Dalam mengelola pondok pesantrennya, Kiai Zaki lebih menekankan pada sistem pengelolaan. Ia menganggap penting hal itu, mengingat ia tidak mewarisinya dari orangtua. Memberdayakan santrinya menjadi kepedulian utamanya. "Saya bukan lulusan pondok pesantren. Saya bahkan bersekolah di sekolah Katolik. Tetapi, karena saya beragama Islam, saya harus mendalami agama saya," ia menggambarkan.

Ia berharap pondok pesantren itu terus berkembang melalui pengelolaan para santri sendiri. Ia bahkan tidak mempersiapkan keempat anaknya, salah seorang di antaranya lulusan sebuah universitas di Mekkah, Arab Saudi, untuk mengelola pondok pesantren itu. "Ini bukan milik dinasti. Saya tanamkan sistemnya. Jadi, kalau saya sudah tidak ada, pondok pesantren ini masih terus ada," tuturnya, tertawa.

Ia membentuk sebuah lembaga finansial, baitul mal, meminjam istilahnya. "Baitul mal inilah yang nantinya membiayai santri-santri yang tidak mampu. Mungkin juga yang pintar kita sekolahkan terus. Baitul mal itu bukan milik saya. Yang terlibat di dalamnya ya santri-santri di sini," ia menegaskan.

Mengelola pondok pesantren memerlukan ketekunan dan kesungguhan. Itu pula sebabnya ia sangat tidak berminat ketika banyak kalangan mencoba menariknya terlibat dalam kepartaian. "Bukannya tidak senang partai, tidak. Konsentrasi saya adalah memberi bekal kepada santri-santri. Kalau saya ke mana-mana, nanti tidak bisa berkonsentrasi lagi kepada mereka," katanya, enteng. "Apalagi administrasinya kan administrasi langit. Kalau ada yang tidak membayar, dari mana uang untuk mengelola? Para santri harus makan, dari mana uangnya?" ia menambahkan.

Di sela-sela kesibukannya mengurusi usaha pertambangan marmer, ia terus mencurahkan pikiran untuk lebih mengembangkan pondok pesantrennya. Ia masih menyimpan keinginan mengembangkan biodiesel bersama masyarakat setempat. Ia masih terus memperbaiki lingkungan sekitar dengan menanami pohon-pohon keras. Ia masih memimpikan suatu saat akan mengembangkan biogas. "Kegiatan harus jalan terus," katanya.


Posting Uji Coba...................!!!!!
Mereka semua adalah teman2 ku 1 kampus.....